Kamis, 09 Mei 2013

DAKWAH DAN BUDAYA KONSUMTIF

DAKWAH DAN BUDAYA KONSUMTIF

I.                   PENDAHULUAN
Perbedaan budaya antara satu daerah dengan daerah lainnya acap kali sering menimbulkan perdebatan bahkan hingga menimbulkan pertumpahan darah. Seperti beberapa kejadian berikut ini perang antara egoisitas Amerika dengan Irak, Kristen fundamentalis menyerang Islam setelah serangan teroris 9 September, kelompok militan Hindu dan Muslim saling bunuh di Ayodha-India, konflik antara Israel dan Palestina terus bergolak memakan korban, prasangka rasial kulit putih terhadap kulit hitam di Amerika Serikat menyulut kerusuhan berdarah, diskriminasi kekerasan terhadap minoritas Cina terjadi lagi di Pekalongan, penggunaan bangunan sebagai gereja di Depok diprotes keras warga Muslim, sebuah gereja di Palu dibom menjelang Natal. Semua kejadian tersebut didasarkan pada perbedaan budaya satu sama lain dimana anggota dari tiap komunitas budaya tersebut sering terlalu fanatik, ekslusif dan cenderung berprasangka pada kelompok lainnya.
Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari mengenai segala perilaku manusia dan segala proses mentalnya juga memiliki peran yang signifikan dalam proses pemberian pengertian pada tiap-tiap kelompok. Apalagi dalam konteks dakwah, yang akhirnya menciptakan sebuah cabang ilmu baru yaitu Psikologi Dakwah, memahami dan mengatahui kondisi psikis mad’u sangatlah penting ditambah lagi mad’u yang memiliki lantar belakang budaya berbeda. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, pemakalah mencoba memaparkan mengenai psikologi dakwah lintas budaya.
II.                PERMASALAHAN
1.      Apa pengertian dakwah dan budaya konsumtif?
2.      Apa saja unsur-unsur dan tujuan dakwah?
3.      Bagaimana strategi dakwah budaya pengajian rutin di dalam Msayarakat?
4.      Bagaimna perkembangan pengajian rutin di dalam masyarakat?
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian dakwah dan budaya konsumtif
Ditinjau dari segi etimologi (bahasa), dakwah berasal dari kata bahasa arab yang berarti “panggilan, ajakan atau seruan.[1]
Dalam ilmu tata bahasa arab, kata dakwah berbentuk sebagai “isim mashdar”. Kata ini berasal dari ‘fi’il’ (kata kerja) “دعا- يدعو ” artinya memanggil, mengajak atau menyeru. Arti kata dakwah seperti ini sering dijumpai atau dipergunakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
...... وَادْعُوْا شُهَدَآءَ كُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ - البقرة: 23
 “….. dan panggillah saksi-saksimu lain dari pada Allah……” (Al-baqarah:23)
وَاللهُ يَدْعُوْآ إلَى دَارِ السَّلاَمِ.........
“Allah menyeru kepada Darussalam (syurga)…….” (Yunus:25)
Sedangkan orang yang melakukan seruan atau ajakan disebut Da’I. tetapi mengingat bahwa proses memanggil atau menyeru tersebut merupakan suatu proses penyampaian atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah tabligh yaitu penyampaian dan mubaligh yaitu orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaiakn pesan kepada pihak komunikasi.[2]
Ditinjau dari segi bahasa, kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah”, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa tersebut.[3]
Definisi lain menyebutkan bahwa kebudayaan adalah usaha manusia dan masyarakat untuk mengembangkan prasarana budaya menjadi sarana budaya yang lebih mantap yang diharapkan dapat menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya secara lebih memuaskan.[4]
Koentjaraningrat merumuskan definisi kebudayan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[5] Kebudayaan merupakan salah satu ciri keberadaan manusia di muka bumi. Dakwah mau tidak mau harus melibatkan hal yang satu ini dalam usahanya. Kita tidak akan mampu mengeneralisir kebudayaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Kebudayaan manusia, awalnya muncul karena adanya manusia, namu dalam perkembangannya, manusia lebih dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada.
Menarik, mendalam, dan menerus atau kontinyu adalah syarat penerapan dakwah dalam ranah kebudayaan, kalau kita memahami kebudayaan sebagai hasil cipta karya, dan rasa manusia. Influentif, sabar, tegas, persuasif, dan proporsional adalah hal selanjutnya yang harus menjadi ukuran kegiatan dakwah, kalau kita memahami kebudayaan sebagai norma, pola hidup, dan nilai di dalam suatu masyarakat.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan, yaitu:
a.       Bahasa
b.      Sistem pengetahuan
c.       Organisasi sosial
d.      Sistem peralatan hidup dan teknologi
e.       Sistem mata pencaharian hidup
f.       Sistem religi
g.      kesenian[6]
pokoknya sendiri.
            Dahlan (Al-Ghifari, 2003, h.144) menyatakan bahwa perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal dan memberikan kepuasaan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.
            Menurut Sumartono (Al-Ghifari, 2003, h.142) seseorang yang konsumtif mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.       Membeli produk untuk menjaga status, penampilan, dan gengsi.
b.      Memakai sebuah produk karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk tersebut.
c.       Adanya penilaian bahwa dengan memakai atau membeli produk dengan harga yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri.
d.      Membeli produk dengan pertimbangan harga bukan karena manfaat dan kegunaannya.
e.       Membeli karena kemasan produk yang menarik.
f.       Membeli produk karena iming-iming hadiah.
g.      Mencoba produk sejenis dengan dua merk yang berbeda.

B.     Unsur-unsur dakwah
Unsur-unsur dakwah meliputi:
1.      Subjek Dakwah    
Dalam hal ini yang dimaksud dengan subjek dakwah adalah yang melaksanakan tugas-tugas dakwah, orang itu disebut da’i atau muballigh.
Dalam aktivitasnya subjek dakwah dapat secara individu ataupun bersama-sama. Hal ini tergantung kepada besar kecilnya skala penyelenggaraan dakwah dan permasalahan-permasalahan dakwah yang akan digarapnya. Semakin luas dan kompleks-nya permasalahan dakwah yang dihadapi, tentunya besar pula penyelenggaraan dakwah dan mengingat keterbatasan subjek dakwah, baik di bidang keilmuan, pengalaman, tenaga dan biaya, maka subjek dakwah yang terorganisir akan lebih efektif daripada yang secara individu (perorangan) dalam rangka pencapaian tujuan dakwah.
Dalam pengertian subjek dakwah yang terorganisir, dapat dibedakan dalam tiga komponen, yaitu (1) da’i, (2) perencana dan (3) pengelola dakwah.  Sebagai seorang da’i harus mempunyai syarat tertentu, diantaranya:
·         Menguasai isi kandungan al-Quran dan sunah Rasul serta hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas dakwah.
·         Menguasai ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengan tugas-tugas dakwah.
·         Takwa pada Allah SWT.
2.      Objek Dakwah (audience).
Objek dakwah adalah setiap orang atau sekelompok orang yang dituju atau menjadi sasaran suatu kegiatan dakwah. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap manusia tanpa membedakan jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan, warna kulit, dan lain sebagainya, adalah sebagai objek dakwah. Hal ini sesuai dengan sifat keuniversalan dari agama Islam dan tugas kerisalahan Rasulullah.
Ditinjau dari segi tugas kerisalahan Rasullulah SAW, maka objek dakwah dapat digolongkan menjadi dua kelompok, pertama, umat dakwah yaitu umat yang belum menerima, meyakini, dan mengamalkan ajaran agama Islam. Kedua, umat ijabah yaitu umat yang dengan secara ikhlas memeluk agama Islam dan kepada mereka sekaligus dibebani kewajiban untuk melaksanakan dakwah.
Mengingat keberadaan objek dakwah yang heterogen, baik pada tingkat pendidikan, ekonomi, usia, dan lain sebagainya, maka keberagaman tersebut hendaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan model penyelenggaraan dakwah, sehingga benar-benar dapat secara efektif dan berhasil dalam menyentuh persoalan-persoalan kehidupan umat manusia sebagai objek dakwah
3.      Materi Dakwah
Materi dakwah adalah isi pesan yang disampaikan oleh da’i kepada objek dakwah, yakni ajaran agama Islam sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an dan Hadits.
Agama Islam yang bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dan bersifat abadi sampai di akhir jaman serta mengandung ajaran-ajaran tentang tauhid, akhlak dan ibadah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa materi dakwah meliputi tauhid, akhlak, dan ibadah.
Sangat mendalam dan luasnya ajaran Islam menuntut subjek dakwah dalam penyampaian materi dakwah sesuai dengan kondisi objektif objek dakwah, sehingga akan terhindar dari pemborosan. Oleh karena itu, seorang da’i hendaknya mengkaji objek dakwah dan strategi dakwah terlebih dahulu sebelum menentukan materi dakwah sehingga terhindar dari hal-hal yang dapat menghambat kegiatan dakwah.
4.      Metode Dakwah.
Metode dakwah adalah cara-cara menyampaikan pesan kepada objek dakwah, baik itu kepada individu, kelompok maupun masyarakat agar pesan-pesan tersebut mudah diterima, diyakini dan diamalkan. Sebagaimana yang telah tertulis dalam al-Qur’an dalam surat an-Nahl ayat 125:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْن َ  
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” 

5.      Landasan Dakwah Landasan dakwah dalam al- Qur’an  ada tiga, yaitu:
a.       Bil hikmah ( kebijaksanaan), yaitu cara-cara penyampaian pesan-pesan dakwah yang sesuai dengan keadaan penerima dakwah. Operasionalisasi metode dakwah bil hikmah dalam penyelenggaraan dakwah dapat berbentuk: ceramah-ceramah pengajian, pemberian santunan kepada anak yatim atau korban bencana alam, pemberian modal, pembangunan tempat-tempat ibadah dan lain sebagainya.
b.      Mau’idah hasanah, yakni memberi nasehat atau mengingatkan kepada orang lain dengan tutur kata yang baik, sehingga nasehat tersebut dapat diterima tanpa ada rasa keterpaksaan. Penggunaan metode dakwah model ini dapat dilakukan antara lain dengan melalui: (1) kunjungan keluarga, (2) sarasehan, (3) penataran/kursus-kursus, (4) ceramah umum, (5) tabligh, (6) penyuluhan.
c.       Mujadalah (bertukar pikiran dengan cara yang baik), berdakwah dengan mengunakan cara bertukar pikiran (debat). Pada masa sekarang menjadi suatu kebutuhan, karena tingkat berfikir masyarakat sudah mengalami kemajuan. Namun demikian, da’i hendaknya harus mengetahui kode etik (aturan main) dalam suatu pembicaraan atau perdebataan, sehingga akan memperoleh mutiara kebenaran, bahkan terhindar dari keinginan mencari popularitas ataupun kemenangan semata.

Sebagai bagian dari kegiatan dakwah Islam tentunya mempunyai tujuan. Secara hakiki dakwah mempunyai tujuan menyampaikan kebenaran ajaran yang ada dalam al-Qur’an-al-Hadits dan mengajak manusia untuk mengamalkanya.
Tujuan dakwah ini dapat dibagi menjadi, tujuan yang berkaitan dengan materi dan objek dakwah. Dilihat dari aspek tujuan objek dakwah ada empat tujuan yang meliputi: tujuan perorangan, tujuan untuk keluarga, tujuan untuk masyarakat, dan tujuan manusia sedunia.
Sedangkan tujuan dakwah dilihat dari aspek materi, menurut Masyhur Amin ada tiga tujuan yang meliputi :
·         Pertama, tujuan akidah, yaitu tertanamnya akidah yang mantap bagi tiap-tiap manusia.
·         Kedua, tujuan hukum, aktivitas dakwah bertujuan terbentuknya umat manusia yang mematuhi hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT.
·         Ketiga, tujuan akhlak, yaitu terwujudnya pribadi muslim yang berbudi luhur dan berakhlakul karimah.[7]
C.    Strategi dakwah budaya pengajian rutin di dalam msayarakat
Strategi dakwah antar budaya merupakan suatu perencanaan (planning) matang dan bijak tentang dakwah Islam secara rasional untuk mencapai tujuan Islam dengan mempertimbangkan budaya masyarakat, baik segi materi dakwah, metodologi maupun lingkungan tempat dakwah berlangsung.[8] Dalam dakwah sebagai sebuah proses komunikasi, terutama dalam dakwah antar budaya, akan menjadi efektif dalam proses penyampaian pesan dakwahnya apabila memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2.      Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki
3.      Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak
4.      Da’i (sebagai pelaku dakwah) harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain.[9]
5.      Mengenali tempat, situasi dan kondisi masyarakat
Hal ini untuk memudahkan perumusan strategi yang akan digunakan serta materi dakwah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab, dalam menentukan sebuah strategi dakwah seorang Da’i harus jeli dalam melihat kondisi mad’u, sehingga aktivitas dakwah akan lebih mantap, efisien, dan mengenai sasaran.[10]
6.      Membuat karya budaya sarat dakwah seperti wayang dakwah, cerita, dongeng, drama yang berisi pesan dakwah persuasif dan inklusif, design pakaian Islam yang modern dan syar’i.
Fungsi dakwah Islam dalam konteks budaya ada dua macam yaitu  pertama, menciptakan kondisi yang sesubur mungkin bagi kelanjutan sintesa budaya Islam yang di masa silam belum lagi sempat mencapai puncak kemekarannya. Kedua, memberikan makna dan format spiritual bagi proses kehidupan antar budaya kita yang berkiblat pada perkembangan menuju moderinitas.[11]
D.    Perkembangan pengajian rutin di dalam masyarakat akibat budaya Konsumtif
Memang sifat dasar manusia adalah mempunyai konsumtif. Namun, bagaimana sifat itu tidak menjadi berlebihan karena akan merugikan diri sendiri dan justru akan membuat “susah” di masa depan.
Manusia memang selalu dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun kita harus pintar-pintar dalam memilah-milah mana kebutuhan yang pokok dan mana kebutuhan yang tidak penting atau hanya sebagai “gaya-gayaan” saja atau hanya sebagai ikut-ikutan trend.
Setiap orang tentu saja mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Tergantung siapa orangnya, apa jenis pekerjaannya, atau bagaimana tipe orangnya. Ini yang membedakan suatu barang dikatakan konsumtif atau bukan. Kita harus pandai melihat apa sesungguhnya kebutuhan yang harus dipenuhi dalam hidup kita masing-masing. Kita harus pandai juga dalam mengatur keuangan. Jika suatu barang memang penting untuk dimiliki dan menunjang karir atau pekerjaan kita, maka mau tidak mau kita harus berusaha membeli barang itu. Meskipun mungkin barang yang akan dibeli itu relatif mahal. Namun, jika barang yang mahal itu fungsinya hanya sebagai “gaya-gayaan” atau tidak terlalu berpengaruh dalam kebutuhan hidup kita, maka tidak perlu barang yang mahal itu kita miliki karena bisa jadi akan menambah beban pengeluaran hidup kita. Allah mengajarkan kita untuk selalu bersyukur terhadap apa yang sudah diberikan-Nya. Dan tentunya rezeki yang sudah diberikan Allah itu, juga ada hak milik orang lain.
Ketika kita mampu membeli barang mahal, jangan sampai kita tidak mampu untuk memberikan sedikit rezeki kita untuk orang yang membutuhkan. Inilah mengapa budaya konsumtif mengikis kepekaan sosial. Terkadang kita lupa terhadap hak yang harus diberikan kepada orang lain, padahal kita mampu membeli barang-barang mewah.
Manusia bisa dibilang makhluk yang tidak pernah puas. Ujung dari pencarian yang mereka lakukan selalu berakhir pada satu titik, yaitu kurang. Keadaan ini persis seperti yang disampaikan Rasulullah, bahwa seandainya manusia diberi emas sebanyak satu jurang, maka mereka akan mencari dua jurang dan seterusnya. Yang bisa memenuhi perut mereka hanyalah tanah (kuburan).
Ada pergeseran yang nyaris tanpa kita rasakan. Sebuah pergeseran nilai, dari fungsi kepada gengsi. Kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, rumah, pendidikan, dan hal-hal lain semacam alat komunikasi, tak lagi menimbang fungsinya, tapi lebih kepada gengsinya. Ada sesuatu yang sedang dikejar dari proses pemenuhan itu, yaitu trend dan keinginan tampil lebih dari yang lain.
Mungkin itulah salah satu penyebab kenapa kita tanpa sadar kehilangan daya peka sosial. Kepekaan kita terhadaplingkungan sekitar menjadi tumpul. Bahkan bisa jadi di tengah hiruk pikuk mengejar keinginan hawa nafsuyang terus membumbung ke atas, tanpa terasa yang di bawah terinjak-injak. Kita tidak mampu menyelami apa yang terjadi di sekeliling. Kita sulit merasakan, atau mungkin cuek di saat terlelap oleh kenyang, ada tetangga yang tak bisa tidur karena lapar. Atau saat sibuk mencari sekolah elit yang mahal, tetangga kita justru terancam putus sekolah.
Perilaku konsumtif seperti ini mulai hinggap dalam diri umat Islam. Perilaku ini sudah mulai mengikis sedikit demi sedikit rasa persaudaraan dan kepekaan sosial di antara mereka. Umat Islam besar, tapi hanya sekedar kuantitas, bukan kualitas. Padahal Rasulullah menggambarkan umat Islam laksana satu tubuh, ketika satu bagian sakit, yang lain ikut merasakan. Tapi apa yang terjadi saat ini?Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai sosial dan kebudayaan. Bahkan, nilai-nilai sosial merupakan bagian penting dari keimanan kepada Allah dan hari akhir. Rasulullah bersabda, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga ia mencinyai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari Muslim)[12].
Dari itu semua sudah seharusnya kita memupuk kepekaan sosial kita dengan berusaha meninggalkan budaya konsumtif. Kita berusaha mencoba hidup sederhana, dengan menyukuri apa yang ada. Sederhana bukan dalam pengertian hidup miskin, tetapi sederhana dalam bersikap yang mengedepankan kebijaksanaan dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak berlebihan, atau mendewa-dewakan materi. Dengan itu, seseorang dapat memilah mana yang harus menjadi prioritas dan mana yang tidak, baik perhatian, tenaga maupun harta.
Oleh karena itu, kesadaran diri dari masing-masing individu harus lebih ditingkatkan. Jiwa berbagi dengan sesama pun perlu dibiasakan agar tidak ada kesenjangan sosial yang begitu mencolok. Dengan begitu, diharapkan akan mengurangi kejahatan yang ada karena orang yang kurang mampu itu akan merasa diperhatikan. Kita pun secara tidak langsung membantu program pemerintah dalam mengurangi kemiskinan.

IV.             KESIMPULAN
Dalam ilmu tata bahasa arab, kata dakwah berbentuk sebagai “isim mashdar”. Kata ini berasal dari ‘fi’il’ (kata kerja) “دعا- يدعو ” artinya memanggil, mengajak atau menyeru. Ditinjau dari segi bahasa, kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah”, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa tersebut.
Adapun unsur-unsur dalam dakwah adalah Subjek Dakwah, Objek Dakwah (audience), Materi Dakwah, Metode Dakwah dan Landasan Dakwah Landasan dakwah dalam al- Qur’an.
Sebagai bagian dari kegiatan dakwah Islam tentunya mempunyai tujuan. Secara hakiki dakwah mempunyai tujuan menyampaikan kebenaran ajaran yang ada dalam al-Qur’an-al-Hadits dan mengajak manusia untuk mengamalkanya.
Perilaku ini sudah mulai mengikis sedikit demi sedikit rasa persaudaraan dan kepekaan sosial di antara mereka. Umat Islam besar, tapi hanya sekedar kuantitas, bukan kualitas. Padahal Rasulullah menggambarkan umat Islam laksana satu tubuh, ketika satu bagian sakit, yang lain ikut merasakan. Tapi apa yang terjadi saat ini?Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai sosial dan kebudayaan. Bahkan, nilai-nilai sosial merupakan bagian penting dari keimanan kepada Allah dan hari akhir.
V.                PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami sampaikan. Kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

achmad, Amrullah. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima Duta, 1983
Adi sasono, didin haiduddin, saefudin dkk, solusi Islam atas problematka umat ( ekonomi, pendidikan dan dakwwah),cet I (jakarta: Gema Insani, 1998).
syukir, Asmuni dasar-dasar strategi dakwah islam, Surabaya: Al Ikhlas, 2006,
Thohir, Mudjahirin.Memahami Kebudayaan, Semarang: Fasindo Press, 2007,
Tri Prasetya,Joko, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991,
http://www.sarjanaku.com/pengertian-dakwah-islami.html
http://assalafiyah.net/budaya-konsumtif-mengikis-kepekaan-sosial/



[1] Asmuni syukir, dasar-dasar strategi dakwah islam, Surabaya: Al Ikhlas, 2006, hal.17
[2] Adi sasono, didin haiduddin, saefudin dkk, solusi Islam atas problematka umat ( ekonomi, pendidikan dan dakwwah),cet I (jakarta: Gema Insani, 1998). Hlm. 150
[3] Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991, hlm. 28
[4] Amrullah achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima Duta, 1983, hlm. 84-85
[5] Mudjahirin Thohir, Memahami Kebudayaan, Semarang: Fasindo Press, 2007, hlm. 19
[6] Ibid, Mudjahirin Thohir, hlm. 23-24
[7] http://www.sarjanaku.com/2011/07/pengertian-dakwah-islami.html
[11] Op.cit Amrullah Achmad Hal. 85
[12] http://assalafiyah.net/budaya-konsumtif-mengikis-kepekaan-sosial/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar