DAKWAH DAN BUDAYA KONSUMTIF
I.
PENDAHULUAN
Perbedaan budaya antara satu daerah
dengan daerah lainnya acap kali sering menimbulkan perdebatan bahkan hingga
menimbulkan pertumpahan darah. Seperti beberapa kejadian berikut ini perang
antara egoisitas Amerika dengan Irak, Kristen fundamentalis menyerang Islam
setelah serangan teroris 9 September, kelompok militan Hindu dan Muslim saling
bunuh di Ayodha-India, konflik antara Israel dan Palestina terus bergolak
memakan korban, prasangka rasial kulit putih terhadap kulit hitam di Amerika
Serikat menyulut kerusuhan berdarah, diskriminasi kekerasan terhadap minoritas
Cina terjadi lagi di Pekalongan, penggunaan bangunan sebagai gereja di Depok
diprotes keras warga Muslim, sebuah gereja di Palu dibom menjelang Natal. Semua
kejadian tersebut didasarkan pada perbedaan budaya satu sama lain dimana
anggota dari tiap komunitas budaya tersebut sering terlalu fanatik, ekslusif
dan cenderung berprasangka pada kelompok lainnya.
Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari
mengenai segala perilaku manusia dan segala proses mentalnya juga memiliki
peran yang signifikan dalam proses pemberian pengertian pada tiap-tiap
kelompok. Apalagi dalam konteks dakwah, yang akhirnya menciptakan sebuah cabang
ilmu baru yaitu Psikologi Dakwah, memahami dan mengatahui kondisi psikis mad’u
sangatlah penting ditambah lagi mad’u yang memiliki lantar belakang budaya
berbeda. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, pemakalah mencoba
memaparkan mengenai psikologi dakwah lintas budaya.
II.
PERMASALAHAN
1. Apa pengertian dakwah
dan budaya konsumtif?
2. Apa saja unsur-unsur
dan tujuan dakwah?
3. Bagaimana strategi
dakwah budaya pengajian rutin di dalam Msayarakat?
4. Bagaimna perkembangan
pengajian rutin di dalam masyarakat?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dakwah dan budaya
konsumtif
Ditinjau dari segi etimologi (bahasa), dakwah berasal dari kata
bahasa arab yang berarti “panggilan, ajakan atau seruan.[1]
Dalam ilmu tata bahasa arab, kata dakwah berbentuk sebagai “isim
mashdar”. Kata ini berasal dari ‘fi’il’ (kata kerja) “دعا- يدعو ” artinya
memanggil, mengajak atau menyeru. Arti kata dakwah seperti ini sering dijumpai
atau dipergunakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
......
وَادْعُوْا شُهَدَآءَ كُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ - البقرة: 23
“….. dan panggillah saksi-saksimu lain dari pada Allah……”
(Al-baqarah:23)
وَاللهُ
يَدْعُوْآ إلَى دَارِ السَّلاَمِ.........
“Allah menyeru kepada Darussalam (syurga)…….” (Yunus:25)
Sedangkan orang yang melakukan seruan atau
ajakan disebut Da’I. tetapi mengingat bahwa proses memanggil atau menyeru
tersebut merupakan suatu proses penyampaian atas pesan-pesan tertentu, maka
dikenal pula istilah tabligh yaitu penyampaian dan mubaligh yaitu orang yang
berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaiakn pesan kepada pihak komunikasi.[2]
Ditinjau dari segi bahasa,
kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah”, bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata budaya adalah
sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang berarti daya dan
budi. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah
daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil
cipta, karsa dan rasa tersebut.[3]
Definisi lain menyebutkan bahwa
kebudayaan adalah usaha manusia dan masyarakat untuk mengembangkan prasarana
budaya menjadi sarana budaya yang lebih mantap yang diharapkan dapat menjawab
tantangan yang dihadapkan kepadanya secara lebih memuaskan.[4]
Koentjaraningrat merumuskan
definisi kebudayan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.[5]
Kebudayaan merupakan salah satu ciri keberadaan manusia di muka bumi. Dakwah
mau tidak mau harus melibatkan hal yang satu ini dalam usahanya. Kita tidak
akan mampu mengeneralisir kebudayaan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Kebudayaan manusia, awalnya muncul karena adanya manusia, namu dalam
perkembangannya, manusia lebih dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada.
Menarik, mendalam, dan menerus atau
kontinyu adalah syarat penerapan dakwah dalam ranah kebudayaan, kalau kita
memahami kebudayaan sebagai hasil cipta karya, dan rasa manusia. Influentif,
sabar, tegas, persuasif, dan proporsional adalah hal selanjutnya yang harus
menjadi ukuran kegiatan dakwah, kalau kita memahami kebudayaan sebagai norma,
pola hidup, dan nilai di dalam suatu masyarakat.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan, yaitu:
a.
Bahasa
b.
Sistem
pengetahuan
c.
Organisasi
sosial
d.
Sistem
peralatan hidup dan teknologi
e.
Sistem
mata pencaharian hidup
f.
Sistem
religi
g.
kesenian[6]
pokoknya sendiri.
Dahlan
(Al-Ghifari, 2003, h.144) menyatakan bahwa perilaku konsumtif merupakan suatu
perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan
segala hal yang dianggap paling mahal dan memberikan kepuasaan dan kenyamanan
fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan
didorong oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.
Menurut
Sumartono (Al-Ghifari, 2003, h.142) seseorang yang konsumtif mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
a. Membeli produk untuk
menjaga status, penampilan, dan gengsi.
b. Memakai sebuah produk
karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk
tersebut.
c. Adanya penilaian bahwa
dengan memakai atau membeli produk dengan harga yang mahal akan menimbulkan
rasa percaya diri.
d. Membeli produk dengan
pertimbangan harga bukan karena manfaat dan kegunaannya.
e. Membeli
karena kemasan produk yang menarik.
f. Membeli
produk karena iming-iming hadiah.
g. Mencoba
produk sejenis dengan dua merk yang berbeda.
B.
Unsur-unsur dakwah
Unsur-unsur
dakwah meliputi:
1. Subjek
Dakwah
Dalam hal ini yang dimaksud dengan subjek dakwah
adalah yang melaksanakan tugas-tugas dakwah, orang itu disebut da’i atau muballigh.
Dalam
aktivitasnya subjek dakwah dapat secara individu ataupun bersama-sama. Hal ini
tergantung kepada besar kecilnya skala penyelenggaraan dakwah dan
permasalahan-permasalahan dakwah yang akan digarapnya. Semakin luas dan
kompleks-nya permasalahan dakwah yang dihadapi, tentunya besar pula
penyelenggaraan dakwah dan mengingat keterbatasan subjek dakwah, baik di bidang
keilmuan, pengalaman, tenaga dan biaya, maka subjek dakwah yang terorganisir
akan lebih efektif daripada yang secara individu (perorangan) dalam rangka
pencapaian tujuan dakwah.
Dalam pengertian
subjek dakwah yang terorganisir, dapat dibedakan dalam tiga komponen, yaitu (1)
da’i, (2) perencana dan (3) pengelola dakwah. Sebagai seorang da’i harus
mempunyai syarat tertentu, diantaranya:
·
Menguasai isi
kandungan al-Quran dan sunah Rasul serta hal-hal yang berhubungan dengan
tugas-tugas dakwah.
·
Menguasai ilmu
pengetahuan yang ada hubungannya dengan tugas-tugas dakwah.
·
Takwa pada Allah
SWT.
2. Objek Dakwah
(audience).
Objek dakwah adalah setiap orang
atau sekelompok orang yang dituju atau menjadi sasaran suatu kegiatan dakwah.
Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap manusia tanpa membedakan jenis
kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan, warna kulit, dan lain sebagainya, adalah
sebagai objek dakwah. Hal ini sesuai dengan sifat keuniversalan dari agama
Islam dan tugas kerisalahan Rasulullah.
Ditinjau dari
segi tugas kerisalahan Rasullulah SAW, maka objek dakwah dapat digolongkan
menjadi dua kelompok, pertama, umat dakwah yaitu umat yang belum menerima,
meyakini, dan mengamalkan ajaran agama Islam. Kedua, umat ijabah yaitu umat
yang dengan secara ikhlas memeluk agama Islam dan kepada mereka sekaligus
dibebani kewajiban untuk melaksanakan dakwah.
Mengingat
keberadaan objek dakwah yang heterogen, baik pada tingkat pendidikan, ekonomi,
usia, dan lain sebagainya, maka keberagaman tersebut hendaknya dapat dijadikan
pertimbangan dalam penentuan model penyelenggaraan dakwah, sehingga benar-benar
dapat secara efektif dan berhasil dalam menyentuh persoalan-persoalan kehidupan
umat manusia sebagai objek dakwah
3. Materi Dakwah
Materi dakwah
adalah isi pesan yang disampaikan oleh da’i kepada objek dakwah, yakni ajaran
agama Islam sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an dan Hadits.
Agama Islam yang
bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dan bersifat
abadi sampai di akhir jaman serta mengandung ajaran-ajaran tentang tauhid,
akhlak dan ibadah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa materi dakwah meliputi
tauhid, akhlak, dan ibadah.
Sangat mendalam
dan luasnya ajaran Islam menuntut subjek dakwah dalam penyampaian materi dakwah
sesuai dengan kondisi objektif objek dakwah, sehingga akan terhindar dari
pemborosan. Oleh karena itu, seorang da’i hendaknya mengkaji objek dakwah dan
strategi dakwah terlebih dahulu sebelum menentukan materi dakwah sehingga
terhindar dari hal-hal yang dapat menghambat kegiatan dakwah.
4. Metode Dakwah.
Metode dakwah
adalah cara-cara menyampaikan pesan kepada objek dakwah, baik itu kepada individu,
kelompok maupun masyarakat agar pesan-pesan tersebut mudah diterima, diyakini
dan diamalkan. Sebagaimana yang telah tertulis dalam al-Qur’an dalam surat
an-Nahl ayat 125:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْن َ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
5. Landasan Dakwah
Landasan dakwah dalam al- Qur’an ada tiga, yaitu:
a.
Bil hikmah ( kebijaksanaan),
yaitu cara-cara penyampaian pesan-pesan dakwah yang sesuai dengan keadaan
penerima dakwah. Operasionalisasi metode dakwah bil hikmah dalam
penyelenggaraan dakwah dapat berbentuk: ceramah-ceramah pengajian, pemberian
santunan kepada anak yatim atau korban bencana alam, pemberian modal,
pembangunan tempat-tempat ibadah dan lain sebagainya.
b.
Mau’idah
hasanah, yakni memberi nasehat atau mengingatkan kepada orang lain dengan tutur
kata yang baik, sehingga nasehat tersebut dapat diterima tanpa ada rasa
keterpaksaan. Penggunaan metode dakwah model ini dapat dilakukan antara lain
dengan melalui: (1) kunjungan keluarga, (2) sarasehan, (3)
penataran/kursus-kursus, (4) ceramah umum, (5) tabligh, (6) penyuluhan.
c.
Mujadalah
(bertukar pikiran dengan cara yang baik), berdakwah dengan mengunakan cara
bertukar pikiran (debat). Pada masa sekarang menjadi suatu kebutuhan, karena
tingkat berfikir masyarakat sudah mengalami kemajuan. Namun demikian, da’i
hendaknya harus mengetahui kode etik (aturan main) dalam suatu pembicaraan atau
perdebataan, sehingga akan memperoleh mutiara kebenaran, bahkan terhindar dari
keinginan mencari popularitas ataupun kemenangan semata.
Sebagai
bagian dari kegiatan dakwah Islam tentunya mempunyai tujuan. Secara hakiki
dakwah mempunyai tujuan menyampaikan kebenaran ajaran yang ada dalam
al-Qur’an-al-Hadits dan mengajak manusia untuk mengamalkanya.
Tujuan dakwah
ini dapat dibagi menjadi, tujuan yang berkaitan dengan materi dan objek dakwah.
Dilihat dari aspek tujuan objek dakwah ada empat tujuan yang meliputi: tujuan
perorangan, tujuan untuk keluarga, tujuan untuk masyarakat, dan tujuan manusia
sedunia.
Sedangkan tujuan
dakwah dilihat dari aspek materi, menurut Masyhur Amin ada tiga tujuan yang
meliputi :
·
Pertama, tujuan
akidah, yaitu tertanamnya akidah yang mantap bagi tiap-tiap manusia.
·
Kedua, tujuan
hukum, aktivitas dakwah bertujuan terbentuknya umat manusia yang mematuhi
hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT.
·
Ketiga, tujuan
akhlak, yaitu terwujudnya pribadi muslim yang berbudi luhur dan berakhlakul
karimah.[7]
C.
Strategi dakwah budaya pengajian
rutin di dalam msayarakat
Strategi dakwah
antar budaya merupakan suatu perencanaan (planning) matang dan bijak
tentang dakwah Islam secara rasional untuk mencapai tujuan Islam dengan
mempertimbangkan budaya masyarakat, baik segi materi dakwah, metodologi maupun
lingkungan tempat dakwah berlangsung.[8] Dalam
dakwah sebagai sebuah proses komunikasi, terutama dalam dakwah antar budaya,
akan menjadi efektif dalam proses penyampaian pesan dakwahnya apabila
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Menghormati
anggota budaya lain sebagai manusia
2.
Menghormati
budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki
3.
Menghormati hak
anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak
4.
Da’i (sebagai
pelaku dakwah) harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang
lain.[9]
5.
Mengenali
tempat, situasi dan kondisi masyarakat
Hal ini untuk memudahkan perumusan
strategi yang akan digunakan serta materi dakwah yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Sebab, dalam menentukan sebuah strategi dakwah seorang Da’i harus
jeli dalam melihat kondisi mad’u, sehingga aktivitas dakwah akan lebih mantap,
efisien, dan mengenai sasaran.[10]
6.
Membuat karya
budaya sarat dakwah seperti wayang dakwah, cerita, dongeng, drama yang berisi
pesan dakwah persuasif dan inklusif, design pakaian Islam yang modern dan
syar’i.
Fungsi dakwah Islam dalam konteks
budaya ada dua macam yaitu pertama,
menciptakan kondisi yang sesubur mungkin bagi kelanjutan sintesa budaya Islam
yang di masa silam belum lagi sempat mencapai puncak kemekarannya. Kedua, memberikan
makna dan format spiritual bagi proses kehidupan antar budaya kita yang
berkiblat pada perkembangan menuju moderinitas.[11]
D.
Perkembangan pengajian rutin di
dalam masyarakat akibat budaya Konsumtif
Memang
sifat dasar manusia adalah mempunyai konsumtif. Namun, bagaimana sifat itu
tidak menjadi berlebihan karena akan merugikan diri sendiri dan justru akan
membuat “susah” di masa depan.
Manusia
memang selalu dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun kita harus
pintar-pintar dalam memilah-milah mana kebutuhan yang pokok dan mana kebutuhan
yang tidak penting atau hanya sebagai “gaya-gayaan” saja atau hanya sebagai
ikut-ikutan trend.
Setiap
orang tentu saja mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Tergantung siapa orangnya,
apa jenis pekerjaannya, atau bagaimana tipe orangnya. Ini yang membedakan suatu
barang dikatakan konsumtif atau bukan. Kita harus pandai melihat apa
sesungguhnya kebutuhan yang harus dipenuhi dalam hidup kita masing-masing. Kita
harus pandai juga dalam mengatur keuangan. Jika suatu barang memang penting
untuk dimiliki dan menunjang karir atau pekerjaan kita, maka mau tidak mau kita
harus berusaha membeli barang itu. Meskipun mungkin barang yang akan dibeli itu
relatif mahal. Namun, jika barang yang mahal itu fungsinya hanya sebagai
“gaya-gayaan” atau tidak terlalu berpengaruh dalam kebutuhan hidup kita, maka
tidak perlu barang yang mahal itu kita miliki karena bisa jadi akan menambah
beban pengeluaran hidup kita. Allah mengajarkan kita untuk selalu bersyukur
terhadap apa yang sudah diberikan-Nya. Dan tentunya rezeki yang sudah diberikan
Allah itu, juga ada hak milik orang lain.
Ketika
kita mampu membeli barang mahal, jangan sampai kita tidak mampu untuk
memberikan sedikit rezeki kita untuk orang yang membutuhkan. Inilah mengapa
budaya konsumtif mengikis kepekaan sosial. Terkadang kita lupa terhadap hak
yang harus diberikan kepada orang lain, padahal kita mampu membeli
barang-barang mewah.
Manusia
bisa dibilang makhluk yang tidak pernah puas. Ujung dari pencarian yang mereka
lakukan selalu berakhir pada satu titik, yaitu kurang. Keadaan ini persis
seperti yang disampaikan Rasulullah, bahwa seandainya manusia diberi emas
sebanyak satu jurang, maka mereka akan mencari dua jurang dan seterusnya. Yang
bisa memenuhi perut mereka hanyalah tanah (kuburan).
Ada
pergeseran yang nyaris tanpa kita rasakan. Sebuah pergeseran nilai, dari fungsi
kepada gengsi. Kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, rumah, pendidikan, dan
hal-hal lain semacam alat komunikasi, tak lagi menimbang fungsinya, tapi lebih
kepada gengsinya. Ada sesuatu yang sedang dikejar dari proses pemenuhan itu,
yaitu trend dan keinginan tampil lebih dari yang lain.
Mungkin
itulah salah satu penyebab kenapa kita tanpa sadar kehilangan daya peka sosial.
Kepekaan kita terhadaplingkungan sekitar menjadi tumpul. Bahkan bisa jadi di
tengah hiruk pikuk mengejar keinginan hawa nafsuyang terus membumbung ke atas,
tanpa terasa yang di bawah terinjak-injak. Kita tidak mampu menyelami apa yang
terjadi di sekeliling. Kita sulit merasakan, atau mungkin cuek di saat terlelap
oleh kenyang, ada tetangga yang tak bisa tidur karena lapar. Atau saat sibuk
mencari sekolah elit yang mahal, tetangga kita justru terancam putus sekolah.
Perilaku
konsumtif seperti ini mulai hinggap dalam diri umat Islam. Perilaku ini sudah
mulai mengikis sedikit demi sedikit rasa persaudaraan dan kepekaan sosial di
antara mereka. Umat Islam besar, tapi hanya sekedar kuantitas, bukan kualitas.
Padahal Rasulullah menggambarkan umat Islam laksana satu tubuh, ketika satu
bagian sakit, yang lain ikut merasakan. Tapi apa yang terjadi saat ini?Islam
adalah agama yang menjunjung tinggi nilai sosial dan kebudayaan. Bahkan,
nilai-nilai sosial merupakan bagian penting dari keimanan kepada Allah dan hari
akhir. Rasulullah bersabda, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga
ia mencinyai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR
Bukhari Muslim)[12].
Dari
itu semua sudah seharusnya kita memupuk kepekaan sosial kita dengan berusaha
meninggalkan budaya konsumtif. Kita berusaha mencoba hidup sederhana, dengan
menyukuri apa yang ada. Sederhana bukan dalam pengertian hidup miskin, tetapi
sederhana dalam bersikap yang mengedepankan kebijaksanaan dalam memenuhi
kebutuhan hidup, tidak berlebihan, atau mendewa-dewakan materi. Dengan itu,
seseorang dapat memilah mana yang harus menjadi prioritas dan mana yang tidak,
baik perhatian, tenaga maupun harta.
Oleh
karena itu, kesadaran diri dari masing-masing individu harus lebih
ditingkatkan. Jiwa berbagi dengan sesama pun perlu dibiasakan agar tidak ada
kesenjangan sosial yang begitu mencolok. Dengan begitu, diharapkan akan
mengurangi kejahatan yang ada karena orang yang kurang mampu itu akan merasa
diperhatikan. Kita pun secara tidak langsung membantu program pemerintah dalam
mengurangi kemiskinan.
IV.
KESIMPULAN
Dalam ilmu
tata bahasa arab, kata dakwah berbentuk sebagai “isim mashdar”. Kata ini
berasal dari ‘fi’il’ (kata kerja) “دعا- يدعو ” artinya
memanggil, mengajak atau menyeru. Ditinjau dari segi
bahasa, kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah”, bentuk jamak
dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan, bahwa
kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang
berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan
kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan
kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa tersebut.
Adapun
unsur-unsur dalam dakwah adalah Subjek Dakwah, Objek Dakwah (audience), Materi
Dakwah, Metode Dakwah dan Landasan Dakwah Landasan dakwah dalam al- Qur’an.
Sebagai bagian dari kegiatan dakwah Islam tentunya mempunyai
tujuan. Secara hakiki dakwah mempunyai tujuan menyampaikan kebenaran ajaran
yang ada dalam al-Qur’an-al-Hadits dan mengajak manusia untuk mengamalkanya.
Perilaku ini sudah mulai mengikis sedikit demi
sedikit rasa persaudaraan dan kepekaan sosial di antara mereka. Umat Islam
besar, tapi hanya sekedar kuantitas, bukan kualitas. Padahal Rasulullah
menggambarkan umat Islam laksana satu tubuh, ketika satu bagian sakit, yang
lain ikut merasakan. Tapi apa yang terjadi saat ini?Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi nilai sosial dan kebudayaan. Bahkan, nilai-nilai sosial
merupakan bagian penting dari keimanan kepada Allah dan hari akhir.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami sampaikan. Kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kita semua.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
achmad, Amrullah. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta:
Prima Duta, 1983
Adi sasono, didin
haiduddin, saefudin dkk, solusi Islam atas problematka umat ( ekonomi,
pendidikan dan dakwwah),cet I (jakarta: Gema Insani, 1998).
syukir, Asmuni dasar-dasar
strategi dakwah islam, Surabaya: Al Ikhlas, 2006,
Thohir, Mudjahirin.Memahami Kebudayaan, Semarang: Fasindo
Press, 2007,
Tri Prasetya,Joko, dkk,
Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1991,
http://www.sarjanaku.com/pengertian-dakwah-islami.html
http://assalafiyah.net/budaya-konsumtif-mengikis-kepekaan-sosial/
[1] Asmuni syukir, dasar-dasar strategi dakwah
islam, Surabaya: Al Ikhlas, 2006, hal.17
[2] Adi sasono, didin haiduddin, saefudin dkk, solusi
Islam atas problematka umat ( ekonomi, pendidikan dan dakwwah),cet I
(jakarta: Gema Insani, 1998). Hlm. 150
[3] Joko
Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1991, hlm. 28
[4] Amrullah
achmad, Dakwah Islam dan Perubahan
Sosial, Yogyakarta: Prima Duta, 1983, hlm. 84-85
[5] Mudjahirin
Thohir, Memahami Kebudayaan, Semarang:
Fasindo Press, 2007, hlm. 19
[6] Ibid, Mudjahirin Thohir, hlm. 23-24
[7] http://www.sarjanaku.com/2011/07/pengertian-dakwah-islami.html
[11] Op.cit Amrullah Achmad Hal. 85
[12]
http://assalafiyah.net/budaya-konsumtif-mengikis-kepekaan-sosial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar