PENGELOLAAN
ZAKAT MENURUT UU NO 38 TAHUN 1999
I.
PENDAHULUAN
Hukum
islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis, karena ia
merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai
kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu. Hubungan manusia dengan harta
sangatlah erat. Demikian eratnya hubungan tersebut, sehingga naluri manusia
untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan hidup manusia itu
sendiri. Justru itu harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan
manusia , karena ia merupakan unsure dari lima asas (hak) yang wajib dilindungi
bagi setiap manusia (al-Dharuriyyat al-Khamsah), yaitu jiwa,akal,agama, harta,
dan keturunan. Melihat betapa pentingnya esensi dan kedudukan harta bagi
kehidupan manusia maka alqr’an mengangkat terminology harta tersebut senyak
86kali, tersebar dalam 38surah. Didalam kajian fiqh, pembahasan tentang harta
benda tersebar dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang munakabat dan
bidang akhwal al-syakhshiyah serta mu’amalat.
Pandangan
islam mengenai harta, bahwa harta itu malik Allah SWT. Harta yang merupakan hak
miliknya itu, kemudian diberikan kepada orang-orang yang dikehendakinya untuk
dibelanjakan pada jalannya. Islam menetapkan, segala yang dimiliki manusia
adalah amanah yang dipercayakan Allah kepada manusia untuk mengolah dan mengembangkannya
sehingga dapat member manfaat dan kesejahteraan bersama. Orang-orang yang
diberi kelebihan rizeki oleh Allah dalam kapasitasnya sebagai khalifah Allah,
harus melaksanakan tugasnya menyalurkan rizeki kepada berbagai ashnaf yang
memerlukan penyaluran harta tersebut, yaitu faqir miskin dan orang-orang yang
berhak lainnya.
Sedangkan di negara Republik Indonesia menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing,
dan karena menyalurkan rizeki kepada orang yang berhak menerima (zakat) merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang
mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pemerintah mengatur tentang
pengelolaan zakat dengan adanya UU RI no 38 th 1999.
II.
PERMASALAHAN
1. Apa pengertian zakat?
2. Apa dasar hukum zakat?
3. Bagaimana pengelolaan zakat menurut UU no 38 tahun 1999?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zakat
Zakat
di tinjau dari segi bahasa, menurut lisan orang arab, kata zakat berasal dari
kata masdar, dari kata zaka berarti suci, berkah, tumbuh dan terpuji. Zakat
menurut bahasa berarti an-nama’ (kesuburan), thaharah (mensucikan), syara’
memakai kalimat tersebut dengan kedua pengertian ini. Pertama, dinamakan
pengeluaran harta ini dengan zakat adalah karena zakat itu merupakan suatu
sebab yang diharapkan akan mendatangkan kesuburan dan pahala. Oleh karena itu
dinamakan zakat. Kedua, dinamakan zakat adalah karena zakat itu merupakan suatu
kenyataan dan kesucianjiwa dari kekikiran dan dosa.[1]
Imam
Syafi’i memberikan pengertian zakat adalah suatu bagian harta benda yang
dikeluarkan oleh si muzakki untuk keperluan membersihkan hartanya dan diberikan
kepada orang yang berhak menerimanya[2].
Zakat
merupakan salah satu dari kewajiban dan rukun islam. Syari’at hanya mewajibkan
zakat pada harta-harta tertentu saja dan telah menerangkannya secara rinci
kepada umat manusia. Misalnya pada firman Allah Subhanallahuwa Ta’ala:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah:103)
Hubungan
antara makna bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap
harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, berkah, tumbuh dan
berkembang. Dalam penggunaannya, selain untuk kekeyaan, tumbuh dan suci
disifatkan untuk jiwa orang-orang yang telah mengeluarkannya dan menumbuhkan
pahalanya[3].
B.
Dasar Hukum Zakat
Dasar hukum zakat yang dimaksudkan
dalam pembahasan ini adalah:
1. Al qur’an
Dasar hukum wajib zakat sangat banyak
jumlahnya, sebagian di antaranya sudah diperincikan dan sebagian lagi masih
bersifat umum. Seperti firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 110:
Dari ayat di
atas tersirat bahwa diberikan wewenang bagi pengelola zakat/amil untuk
mengambil zakat dari orang-orang yang berhak membayar zakat untuk dikelola dan
diadayakan serta disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Pengambilan zakat
dari para wajib zakat juga berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan jiwa
wajib zakat karena dalam harta mereka terdapat hak-hak orang lain yang harus
ditunaikan[4].
2. Al hadits
SabdaNabi Saw. tentang hukum wajib zakat, di
antaranya hadits:
عن
ابن عمر رضى الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: بني الإسلام على
خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن وحمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة،
وحج البيت، وصوم رمضان (رواه البخارى)
Dari Ibnu Umar bahwasanya
Rasul Saw. bersabda: Islam itu didirikan atas lima sendi, mengaku bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad itu Rasul Allah, mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan puasa ramadhan. (HR. Bukhari)[5]
3. Ijma’ Ulama’
Ijma’ ulama
adalah kesepakatan para ulama salaf (terdahulu, klasik) dan ulama khalaf
(kontemporer) telah sepakat terhadap kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti kafir dan sudah keluar
dari Islam.[6] Para ulama klasik dan ulama
kontemporer telah sepakat tentang zakat wajib dilakukan oleh setiap muslim yang
memiliki harta benda dan telah sampai nisab seria haulnya
C. Pengelolaan zakat menurut UU No.
30 tahun 1999
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta
pendayagunaan zakat.
Setiap warga
negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh
orang muslim berkewajiban menunaikan zakat[7],
Pengelolaan
zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai
dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945. Menurut
pasal 5 UU RI no 38 tahun 1999 Pengelolaan zakat bertujuan:
1. Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan
zakat sesuai dengan tuntunan agama;
2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan social
3. Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
Organisasi
pengelolaan zakat terkandung dalam pasal 6 UU RI no 38 tahun1999:
1. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang
dibentuk oleh pemerintah.
2. Pembentukan badan amil zakat:
·
nasional
oleh Presiden atas usul Menteri;
·
daerah
propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama
propinsi;
·
daerah
kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul kepala kantor
departemen agama kabupaten atau kota;
·
kecamatan
oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan.
3. Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan
kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif.
4. Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat
dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu.
5. Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur
pertimbangan, unsur pengawas dan unsur pelaksana.
Pengumpulan
zakat terkandung dalam pasal 11, 12, 13, 14, 15, UU RI no 38 th 1999.
Pasal 11
(Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat fitrah)[8]
Harta yang
dikenai zakat adalah:
·
emas,
perak dan uang;
·
perdagangan
dan perusahaan;
·
Hasil
pertanian, perkebunan dan perikanan;
·
Hasil
pertambangan;
·
Hasil
peternakan;
·
Hasil
pendapatan dan jasa;
·
tikaz.
(2)
Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar dan waktunya
ditetapkan berdasarkan hukum agama.
Pasal 12
1. Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan
cara menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.
2. Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam
pengumpulan zakat harta muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki[9].
Pasal 13
Badan amil
zakat dapat menerima harta selain zakat seperti infaq, shadaqah, wasiat waris
dan kafarat.
Pasal 14
1. Muzakki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan
kewajiban zakatnya berdasarkan hukum agama.
2. Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartaya dan
kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), muzakki dapat meminta
bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikan bantuan kepada
muzakki untuk menghitungnya.
3. Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak
yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Lingkup
kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri.
Pendayagunaan
Zakat terkandung dalam pasal 16 dan 17 UU RI no 38 tahun 1999.
Pasal 16
1.
Hasil
pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
2.
Pendayagunaan
hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan
dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
3.
Persyaratan
dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.
Pasal 17
Hasil
penerimaan infaq, shadaqah, wasiat, waris dan kafarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif.
Pengawasan pengelolaan zakat tekandung dalam pasal
18 dan 19 UU RI no 38 tahun 1999.
Pasal 18
1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat
dilakukan oleh unsur pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5).
2. Pimpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota.
3. Unsur pengawas berkedudukan di semua tingkatan badan amil
zakat.
4. Dalam melakukan pemeriksaan keuangan badan amil zakat,
unsur pengawas dapat meminta bantuan akuntan publik.
Pasal 19
Badan amil
zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat
Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan
tingkatannya.
Sanksi bagi
pelanggar UU RI no 38 th 1999 terkandung dalam pasal 21:
1. Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak
mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, wasiat,
hibah, waris dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13
dalam Undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama lamanya tiga
bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
2. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas
merupakan pelanggaran.
3. Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil
zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
D. Hambatan dalam pengelolaan Zakat
Sebagaimana diketahui bahwa setiap kegiatan mempunyai
hambatan- hambatan dan kesulitan-kesulitan, baik hambatan itu kecil maupun
besar. Demikian pula halnya hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi dalam pengelolaan zakat, antara lain adalah:
1. Pengarah ketidakberhasilan badan harta agama (yang pada
akhimya dibubarkan) dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada badan
pengelolaan zakat.
2. Pemerintah daerah yang telah membentuk kepengurusan
pengelola zakat sampai saat ini belum pernah memantau terhadap perkembangan
pengelolaan zakat.
3. Tidak adanya promosi dan publikasi dari pihak pengurus
dan kurangnya kerja sama yang lebih luas dengan pihak-pihak lain, sehingga
mengakibatkan masyarakat luas belum memahami tentang pengelolaan zakat.
4. Kurangnya fasilitas kerja bagi para penguras dan
kurangnya tenaga yang cukup waktu.
5. Tidak adanya peraturan dari yang berwenang, sehingga
masyarakat enggan memberikan zakatnya melalui pengelola zakat.
6. Tokoh-tokoh masyarakat yang lebih tahu dan sudah
mempunyai kewajiban berzakat tidak memberikan contoh.
7. Sulitnya menyatukan persepsi tentang pengelolaan zakat
antara pengurus dengan imam desa.
IV.
KESIMPULAN
Menurut
bahasa, zakat berarti pengembangan dan pensucian. Harta berkembang melalui
zakat, tanpa disadari. Disisi lain, mensucikan pelakunya dari dosa. Disebut
zakat didalam syari’at karena adanya pengertian etimologis. Yaitu, karena zakat
dapat membersihkan pelakunya dari dosa dan menunjukan koebenaran imannya.
Adapun caranya adalah dengan memberikan bagian harta yang telah mencapai nisab
tahunan kepada faqir miskin dan lainnya yang berhak untuk menerimanya. Zakat
ini merupakan pelaksanaan rukun islam yang ketiga.
Negara
Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat
menurut agamanya masing-masing, dan karena menyalurkan rizeki kepada orang yang
berhak menerima (zakat) merupakan
kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan
sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
sehingga pemerintah mengatur tentang pengelolaan zakat dengan adanya UU RI no
38 th 1999.
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan
zakat.
Setiap warga
negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh
orang muslim berkewajiban menunaikan zakat,
Pengelolaan
zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai
dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
Dan tujuan
dari pengelolaan zakat tersebut adalah:
1. meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan
zakat sesuai dengan tuntunan agama;
2. meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3. meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami sampaikan. Kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kita semua.
[1]
Hasbi
ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. III, 1976,
hlm. 5
[2] Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, (Terj. Ali Yafie)<
Jilid VI, Cet. III, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996, hlm.12
[3] Drs. Muhammad, Zakat profesi wacana
pemikiran dalam fikih kontemporer ( Jakarta: salemba diniyah, 2002) hlm. 10
[4]
Ahmad Mustafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer
Aly), Semarang: Toha Putra, 1994, hlm. 289
[5]
Imam Bukhari, Shahih
Bukhari, Juz I, Kairo: Darus Sha’bit, t.t., hlm.9
[6]
Yusuf
Qardhawi, Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat
Berdasarkan Qur’an dan Hadits, (Ter. Salman Harun dkk.) Jakarta: Pustaka
Mizan, 1996, hlm.87
[7]
UU RI no 38 th 1999
[8]
UU
RI no 38 th 1999
[9]
UU
RI no 38 th 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar