Kamis, 09 Mei 2013

PENGELOLAAN ZAKAT



PENGELOLAAN ZAKAT MENURUT UU NO 38 TAHUN 1999
I.                      PENDAHULUAN
Hukum islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis, karena ia merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu. Hubungan manusia dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya hubungan tersebut, sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan hidup manusia itu sendiri. Justru itu harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan manusia , karena ia merupakan unsure dari lima asas (hak) yang wajib dilindungi bagi setiap manusia (al-Dharuriyyat al-Khamsah), yaitu jiwa,akal,agama, harta, dan keturunan. Melihat betapa pentingnya esensi dan kedudukan harta bagi kehidupan manusia maka alqr’an mengangkat terminology harta tersebut senyak 86kali, tersebar dalam 38surah. Didalam kajian fiqh, pembahasan tentang harta benda tersebar dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang munakabat dan bidang akhwal al-syakhshiyah serta mu’amalat.
Pandangan islam mengenai harta, bahwa harta itu malik Allah SWT. Harta yang merupakan hak miliknya itu, kemudian diberikan kepada orang-orang yang dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalannya. Islam menetapkan, segala yang dimiliki manusia adalah amanah yang dipercayakan Allah kepada manusia untuk mengolah dan mengembangkannya sehingga dapat member manfaat dan kesejahteraan bersama. Orang-orang yang diberi kelebihan rizeki oleh Allah dalam kapasitasnya sebagai khalifah Allah, harus melaksanakan tugasnya menyalurkan rizeki kepada berbagai ashnaf yang memerlukan penyaluran harta tersebut, yaitu faqir miskin dan orang-orang yang berhak lainnya.
Sedangkan di negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing, dan karena menyalurkan rizeki kepada orang yang berhak menerima (zakat)  merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pemerintah mengatur tentang pengelolaan zakat dengan adanya UU RI no 38 th 1999.
II.                   PERMASALAHAN
1.      Apa pengertian zakat?
2.      Apa dasar hukum zakat?
3.      Bagaimana pengelolaan zakat menurut UU no 38 tahun 1999?
III.                PEMBAHASAN
A.       Pengertian Zakat
Zakat di tinjau dari segi bahasa, menurut lisan orang arab, kata zakat berasal dari kata masdar, dari kata zaka berarti suci, berkah, tumbuh dan terpuji. Zakat menurut bahasa berarti an-nama’ (kesuburan), thaharah (mensucikan), syara’ memakai kalimat tersebut dengan kedua pengertian ini. Pertama, dinamakan pengeluaran harta ini dengan zakat adalah karena zakat itu merupakan suatu sebab yang diharapkan akan mendatangkan kesuburan dan pahala. Oleh karena itu dinamakan zakat. Kedua, dinamakan zakat adalah karena zakat itu merupakan suatu kenyataan dan kesucianjiwa dari kekikiran dan dosa.[1]
Imam Syafi’i memberikan pengertian zakat adalah suatu bagian harta benda yang dikeluarkan oleh si muzakki untuk keperluan membersihkan hartanya dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya[2].
Zakat merupakan salah satu dari kewajiban dan rukun islam. Syari’at hanya mewajibkan zakat pada harta-harta tertentu saja dan telah menerangkannya secara rinci kepada umat manusia. Misalnya pada firman Allah Subhanallahuwa Ta’ala:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah:103)
Hubungan antara makna bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, berkah, tumbuh dan berkembang. Dalam penggunaannya, selain untuk kekeyaan, tumbuh dan suci disifatkan untuk jiwa orang-orang yang telah mengeluarkannya dan menumbuhkan pahalanya[3].
B.        Dasar Hukum Zakat
Dasar hukum zakat yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah:
1.      Al qur’an
Dasar hukum wajib zakat sangat banyak jumlahnya, sebagian di antaranya sudah diperincikan dan sebagian lagi masih bersifat umum. Seperti firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 110:
Dari ayat di atas tersirat bahwa diberikan wewenang bagi pengelola zakat/amil untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berhak membayar zakat untuk dikelola dan diadayakan serta disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Pengambilan zakat dari para wajib zakat juga berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan jiwa wajib zakat karena dalam harta mereka terdapat hak-hak orang lain yang harus ditunaikan[4].
2.      Al hadits
SabdaNabi Saw. tentang hukum wajib zakat, di antaranya hadits:
عن ابن عمر رضى الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن وحمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة، وحج البيت، وصوم رمضان (رواه البخارى)
Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasul Saw. bersabda: Islam itu didirikan atas lima sendi, mengaku bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad itu Rasul Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan puasa ramadhan. (HR. Bukhari)[5]
3.      Ijma’ Ulama’
Ijma’ ulama adalah kesepakatan para ulama salaf (terdahulu, klasik) dan ulama khalaf (kontemporer) telah sepakat terhadap kewajiban zakat dan bagi yang  mengingkarinya berarti kafir dan sudah keluar dari Islam.[6]  Para ulama klasik dan ulama kontemporer telah sepakat tentang zakat wajib dilakukan oleh setiap muslim yang memiliki harta benda dan telah sampai nisab seria haulnya
C.       Pengelolaan zakat menurut UU No. 30 tahun 1999
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat[7],
Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan  Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Menurut pasal 5 UU RI no 38 tahun 1999 Pengelolaan zakat bertujuan:
1.      Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama;
2.      Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan social
3.      Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
Organisasi pengelolaan zakat terkandung dalam pasal 6 UU RI no 38 tahun1999:
1.      Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.
2.      Pembentukan badan amil zakat:
·         nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
·         daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama propinsi;
·         daerah kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota;
·         kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan.
3.      Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif.
4.      Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu.
5.      Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas dan unsur pelaksana.
Pengumpulan zakat terkandung dalam pasal 11, 12, 13, 14, 15, UU RI no 38 th 1999.
Pasal 11 (Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat fitrah)[8]
Harta yang dikenai zakat adalah:
·         emas, perak dan uang;
·         perdagangan dan perusahaan;
·         Hasil pertanian, perkebunan dan perikanan;
·         Hasil pertambangan;
·         Hasil peternakan;
·         Hasil pendapatan dan jasa;
·         tikaz.
(2)       Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.
Pasal 12
1. Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.
2. Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki[9].
Pasal 13
Badan amil zakat dapat menerima harta selain zakat seperti infaq, shadaqah, wasiat waris dan kafarat.
Pasal 14
1.      Muzakki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukum agama.
2.      Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartaya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), muzakki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzakki untuk menghitungnya.
3.      Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri.
Pendayagunaan Zakat terkandung dalam pasal 16 dan 17 UU RI no 38 tahun 1999.

Pasal 16
1.      Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
2.      Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
3.      Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.
Pasal 17
Hasil penerimaan infaq, shadaqah, wasiat, waris dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif.
Pengawasan pengelolaan zakat tekandung dalam pasal 18 dan 19 UU RI no 38 tahun 1999.
Pasal 18
1.      Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat dilakukan oleh unsur pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5).
2.      Pimpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota.
3.      Unsur pengawas berkedudukan di semua tingkatan badan amil zakat.
4.      Dalam melakukan pemeriksaan keuangan badan amil zakat, unsur pengawas dapat meminta bantuan akuntan publik.
Pasal 19
Badan amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.
Sanksi bagi pelanggar UU RI no 38 th 1999 terkandung dalam pasal 21:
1.      Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, wasiat, hibah, waris dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13 dalam Undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
2.      Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
3.      Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D.       Hambatan dalam pengelolaan Zakat
Sebagaimana diketahui bahwa setiap kegiatan mempunyai hambatan- hambatan dan kesulitan-kesulitan, baik hambatan itu kecil maupun besar. Demikian pula halnya hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengelolaan zakat, antara lain adalah:
1.      Pengarah ketidakberhasilan badan harta agama (yang pada akhimya dibubarkan) dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada badan pengelolaan zakat.
2.      Pemerintah daerah yang telah membentuk kepengurusan pengelola zakat sampai saat ini belum pernah memantau terhadap perkembangan pengelolaan zakat.
3.      Tidak adanya promosi dan publikasi dari pihak pengurus dan kurangnya kerja sama yang lebih luas dengan pihak-pihak lain, sehingga mengakibatkan masyarakat luas belum memahami tentang pengelolaan zakat.
4.      Kurangnya fasilitas kerja bagi para penguras dan kurangnya tenaga yang cukup waktu.
5.      Tidak adanya peraturan dari yang berwenang, sehingga masyarakat enggan memberikan zakatnya melalui pengelola zakat.
6.      Tokoh-tokoh masyarakat yang lebih tahu dan sudah mempunyai kewajiban berzakat tidak memberikan contoh.
7.      Sulitnya menyatukan persepsi tentang pengelolaan zakat antara pengurus dengan imam desa.
IV.                KESIMPULAN
Menurut bahasa, zakat berarti pengembangan dan pensucian. Harta berkembang melalui zakat, tanpa disadari. Disisi lain, mensucikan pelakunya dari dosa. Disebut zakat didalam syari’at karena adanya pengertian etimologis. Yaitu, karena zakat dapat membersihkan pelakunya dari dosa dan menunjukan koebenaran imannya. Adapun caranya adalah dengan memberikan bagian harta yang telah mencapai nisab tahunan kepada faqir miskin dan lainnya yang berhak untuk menerimanya. Zakat ini merupakan pelaksanaan rukun islam yang ketiga.
Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing, dan karena menyalurkan rizeki kepada orang yang berhak menerima (zakat)  merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pemerintah mengatur tentang pengelolaan zakat dengan adanya UU RI no 38 th 1999.
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat,
Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan  Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dan tujuan dari pengelolaan zakat tersebut adalah:
1.      meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama;
2.      meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3.      meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
V.                   PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami sampaikan. Kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua.



[1] Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. III, 1976, hlm. 5
[2] Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, (Terj. Ali Yafie)< Jilid VI, Cet. III, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996, hlm.12
[3] Drs. Muhammad, Zakat profesi wacana pemikiran dalam fikih kontemporer ( Jakarta: salemba diniyah, 2002) hlm. 10
[4] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly), Semarang: Toha Putra, 1994, hlm. 289
[5] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, Kairo: Darus Sha’bit, t.t., hlm.9
[6] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadits, (Ter. Salman Harun dkk.) Jakarta: Pustaka Mizan, 1996, hlm.87
[7] UU RI no 38 th 1999
[8] UU RI no 38 th 1999
[9] UU RI no 38 th 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar